Saturday, December 19, 2009

senjakala rasa

Posted by ria permana sari at 10:09 PM 0 comments
jika rasa ini bisa demikian mudah aku terjemahkan
dalam untaian kata atau bait-bait yang kutulis
maka akan aku lakukan
agar usai pertanyaan yang kalian lontarkan
agar usai kebimbangan ini
dan aku bisa merumuskan sikapku

egoku entah kemana
menguap dalam terpaan masalah yang membelit
hingga aku tak lagi bisa berdiri tegak
dan berlari seperti biasa
aku benci ini...

Tuesday, November 3, 2009

senja cinta

Posted by ria permana sari at 10:01 AM 0 comments


Senja menyapu langit dengan warna merah tembaga, memberi nuansa berbeda dalam transformasi waktu siang menuju malam. Aku masih saja takjub akan keindahan senja, dan senja ini kembali mengingatkanku padamu. Jika waktu adalah sebuah perputaran ulang, dimana setiap kejadian adalah ulangan dari kejadian sebelumnya, demikian halnya dengan rasa ini, yang selalu terulang dan terulang, entah sampai kapan.
Aku berada di tengah jembatan ini, jembatan tempat kita menikmati senja, melihat sisi kota ini dari sudut yang sedikit berbeda. Jika biasanya kita larut dalam berbagai aktivitas yang ada dalam kota ini, di jembatan ini kita melihat sisi lain, sisi muram kota ini, melihat dari pandangan mereka yang termarginalkan. Terkesan suram mungkin, namun ada perasaan yang berbeda.

Dari sini kota ini terlihat semakin pongah. Dari jembatan ini terlihat dengan jelas rumah-rumah, ah rasanya tidak layak disebut rumah. Bangunan itu dibangun seadanya dengan bahan yang bisa didapat untuk sekedar berlindung dan beristirahat. Terlihat kontras dengan bangunan di seberangnya. Sebuah mall besar dimana transaksi ratusan juta mungkin terjadi setiap harinya. Atau mobil-mobil mewah yang lalu lalang di depannya. Beberapa orang mengais rezeki di jalan itu, entah sebagai penjaja minuman, pengamen, pengemis atau pemilah sampah yang mengumpulkan barang-barang yang orang buat, dan kemudian dijualnya.

Di seberang sana, terlihat ada perahu dengan sling. Perahu sling itu… Masihkah kamu mengingatnya ? Ketika kita berdua berada dalam perahu itu. Tukang perahu itu memberi jasa dengan menghubungkan sisi kanan dan kiri dari sungai ini. Di tengah modernitas, saat orang-orang memikirkan alat transportasi yang canggih-canggih, mereka masih bertahan dengan perahunya. Aku masih ingat, begitu penasarannya aku untuk ikut menarik di tali yang terhubung pada sling untuk menjalankan perahu itu, merasakan bagaimana rasanya menjadi tukang perahu itu.
“Nanti tangannya lecet,” demikian kata Bapak itu memperingatiku.

Namun seperti yang selalu kau bilang, rasa penasaranku tidak bisa dibendung, dan aku tidak suka diperingatkan. Dan kau hanya diam saja mengamatiku.
Aku hanya tahan beberapa menit saja (atau mungkin dalam hitungan ratusan detik) karena tanganku terasa perih. Saat itu kau menarik tanganku dan mengusapnya. Sorot matamu seakan berkata, apakah rasa ingin tahumu telah terpuaskan.. ah, aku tak mempedulikannya, karena aku justru hanyut pada suasana itu, merasakan romantisme di senja ini di atas perahu di sungai yang airnya tak lagi jernih.

Kemudian sampailah kita di seberangnya, dan membayar beberapa ribu untuk penyebarangan tersebut. Kita kembali melewati rumah-rumah itu, kali ini rumah-rumah ini dibangun di dekat rel kereta api. Tampak anak-anak bermain di tengah-tengah rel yang tak dilintasi. Kamu mengejekku ketika itu.
“ ini sama ya dengan kost kamu, dekat rel kereta api. Hanya saja nuansanya berbeda.”
Aku hanya bisa tersenyum, dan menjadi teringat pertanyaanmu dulu, apakah aku sering terbangun ketika kereta api lewat.

Ya, seperti katamu, di sini nuansanya berbeda, lebih berantakan, lebih memprihatinkan dan entahlah rasanya tinggal di sana. Rumah-rumah itu dibangun berjajar-jajar tanpa ada celah, suara musik dangdut terdengar dengan jelas, mengingatkan aku pada suasana sebuah kota yang dulu acapkali aku kunjungi, sebuah daerah di kawasan Pantai Utara. Benar saja, beberapa percakapan yang aku dengar memiliki dialek yang sama dengan daerah tersebut.

Dalam perjalanan itu, seorang anak kecil terlihat sedang menangis. Aku dan kamu mendekatinya dan berusaha menghiburnya. Aku menggendong anak itu, dan ajaib dia menghentikan tangisnya. Beberapa saat kemudian ibunya datang, segera saja dia minta diturunkan lalu menghampiri ibunya. Sedih rasanya melihat anak tersebut, dalam senja yang hampir hilang ditelan malam, dia masih saja dengan pakaian kumalnya. Jika kubandingkan saat aku kecil dulu, orangtuaku tak pernah mengizinkan aku berada di luar rumah saat senjakala dan memandikan aku sebelum masa itu tiba.
Malam mulai menjelang, langit menjadi gelap namun terang lampu menggantikan cahaya matahari yang hilang. Dan kita masih menyusuri jalan itu, sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang.

***
Dalam sebuah senja yang lain, aku dan kamu menikmati berada di jembatan itu kembali. Ah, kamu memang selalu terkenang dengan jembatan. Menceritakan kembali pengalamanmu membangun jembatan di sebuah desa yang berada jauh di pedalaman, yang rasanya tak banyak orang yang tahu. Entah sudah berapa puluh kali aku mendengar ceritamu, namun karena melihatmu yang begitu bersemangat dan terlihat bangga (atau jumawa?) aku selalu mendengarnya, tanpa memotongnya.

“jembatan ini mungkin 4 kali lipat lebih bagus daripada jembatan yang kita dirikan. Namun aku masih ingat betapa penduduk merasa senang dengan jembatan itu. Jembatan itu kita bangun bersama, bukan pemberian dan efeknya ada rasa sense of belonging’’
Dalam sebuah konsep bernama pemberdayaan yang merupakan antitesa dari konsep pembangunan yang bersifat top down, pelibatan masyarakat penting. Adanya rasa sense of belonging akan menjaga keberlangsungan kebermanfaatan jembatan itu. Ah.. menjadi teringat masa-masa kita berdialektika.

Kamu selalu berjanji mengajakku ke tempat itu suatu hari nanti. Melihat jembatan itu, menyapa penduduknya dan melihat bagaimana perkembangan zaman menggerus kearifan penduduk di sana. Janji yang entah kapan akan kau tepati… aku tak berani menagihnya, tidak sekarang ataupun nanti.

Jembatan ini menimbulkan efek yang lain untukmu dan juga untukku, entah mengapa. Aku atau kamu acapkali termenung di atas jembatan itu dengan membawa pikirannya masing-masing. Kadang aku bertanya, apakah kamu masih terkenang dengan jembatanmu dulu? Sementara pikiranku melayang pada masa yang sudah-sudah dan juga kenangan bersamamu. Masih ingatkah kamu, kala kita menikmati senja di jembatan ini.. kamu tiba-tiba menciumku, ciuman pertama kita. Kamu tertawa lebar melihatku terkejut akan perbuatanmu itu. Bagaimana tidak, ciuman itu menyadarkan aku dari lamunanku.. Kamu memang selalu tak terduga.

Tak terasa malam mengusir keindahan senja. Kala itu, pemandangan berubah dan terasa berbeda. Dari jembatan ini, pekat malam begitu terasa dan pemandangan di seberang sana seperti dunia yang berbeda. Gemerlap lampu penerangan, kendaraan yang berlalu lalang… ah sungguh kontras dengan di sini yang begitu sepi dan muram, padahal hanya terpisah jarak 500 meter.

***
Hari hampir senja ketika kita menyusuri kota ini, dan tepat ketika senja datang kita tiba di tempat itu, tempat dimana kelak kita berproses bersama dengan penduduk di sana. Sebuah proses yang entah dimana muaranya.

***
Senja… kali ini senja tak lagi bisa kunikmati denganmu. Demikian halnya dengan senja yang selanjutnya selalu akan datang. Aku, kamu berada dalam lintasan hidup kita masing-masing dengan membawa semua rasa yang kita punya.

Senja tak lagi membawa kita pada sisi lain kehidupan. Senja kita adalah perubahan. Senja kita adalah awal langkah kecil kita. Senja adalah cinta kita.

Thursday, October 22, 2009

untuk Tuhanku

Posted by ria permana sari at 3:39 AM 0 comments
mungkin selama ini aku terlalu pongah
atas apa yang aku yakini
atas apa yang ada dalam otakku
maka maafkan aku Tuhan

kadang bertanya tentang pamrih
sungguhkan tulus dihadirkan dalam tiap laku
juga padaMu Tuhan
atau apakah ingin mengharap balasan surga, pahala
sungguh aku tak menginginkannya
aku hanya berharap bisa membantu dan memberi kebahagian untuk orang lain

Tuhan
dalam doa, aku bermunajat padaMu
berdialog denganMu
sungguh, aku hanya memilikiMu

Aku selalu berdoa, agar keadaan ini menjadi lebih baik
dan aku tahu Kau tahu apa yang terbaik untukku

jika kubilang dunia ini tidak adil, memang demikian
namun aku memilikiMu, yang bisa membuatnya menjadi adil

Amien

Thursday, September 24, 2009

cinta

Posted by ria permana sari at 7:35 AM 0 comments
Falling in love is not at all the most stupid thing that people do-but gravitation cannot be held responsible for it
Albert Einstein

Sesuai dengan hukum grafitasi, benda yang dilempar ke atas akan jatuh. Artinya jatuhnya benda ke bawah adalah pengaruh dari daya gravitasi. Namun jatuh cinta, tidak disebabkan oleh gravitasi demikian kata einstein.

Cinta rasa-rasanya menjadi tema bahasan yang tidak lekang dimakan waktu. Lihat saja roman Shakespeare Romeo dan Juliet yang masih menggema, dan rasanya selalu saja ada bahasan tentang cinta. Berbicara cinta adalah membicaraan drama hidup dan manusia itu sendiri.

Kadang bertanya tentang apakah cinta, dan terkadang meragukannya. Benar juga kata seseorang, jika ingin mengetahui tentang cinta, maka belajarlah mencintai.

perjumpaan kita tentunya bukanlah suatu kebetulan
demikian pula apa yang terjadi antara kita
jika kemudian rasa yang aku rasa ini berfluktuasi
itulah indahnya cinta

Ah sudahlah, aku tidak mau terjebak dengan perasaan itu.

Monday, September 14, 2009

sajak dua

Posted by ria permana sari at 9:35 AM 0 comments
Bila tiba waktuku, kuingin tak seorang pun menangisiku
kuingin saat itu aku telah memeluk mimpiku

Bila tiba waktuku, tak ingin seorang pun tahu
biarlah aku pergi diam-diam, hingga tak ada yang menyadarinya
dan aku hanya jadi sepenggal cerita dalam hidup kalian


Batavia, 140909

sajak satu

Posted by ria permana sari at 9:33 AM 0 comments
jangan mengusikku
jika kamu tak mau taringku keluar dan kemudian mencabikmu
atau lidahku yang setajam sembilu mengirismu habis

Aah..
nyatanya aku juga hanya terdiam
menyusun kekuatan
menanti larasnya inginku dan mauMU

Bunga

Posted by ria permana sari at 9:31 AM 0 comments
Bahkan bunga rumput pun lelah
mengering dan kemudian ada yang mengganti, bagai sebuah siklus dan bukti kegigihannya sebagai bunga rumput yang kan selalu ada

bahkan bunga rumput pun lelah
tak diindahkan bahkan terinjak dan dibabat

ternyata mampu tumbuh di tempat yang sulit pun tak menjadi arti bagi hadirnya


Batavia, 14 September 2009

Thursday, September 10, 2009

untitled

Posted by ria permana sari at 3:07 PM 0 comments
apalagi yang bisa aku banggakan?
impian yang tlah koyak
hati yang luka
kakiku bahkan tlah lelah

yang ada hanya kesombongan

inginku

Posted by ria permana sari at 2:57 PM 0 comments
24 jam terasa lama
dan hari adalah pengulangan waktu sebelumnya
ketika aku kembali bergelut dengan rasa yang sama
ingin rasanya meloncat dari waktu ini

aku dalam gamang
keresahan dan segala rasa yang tumpah ruah
inginku, rencanaMU akankah akhirnya bertemu?

terkadang ingin menyerah
berkata kalah pada dunia yang pongah ini
aku lelah

Wednesday, September 9, 2009

purnama

Posted by ria permana sari at 11:05 AM 0 comments
bulan purnama
dan aku masih saja terpukau dengan memandanginya

ini adalah bulan yang sama
5 tahun lalu, 10 tahun atau ratusan tahun yang lalu

masihkah ku kan melihat purnama
mencari sosok yang ada dalam rona purnama

Sunday, September 6, 2009

Perempuan yang ingin memutar waktu

Posted by ria permana sari at 8:44 PM 1 comments
Jika saja waktuku bisa diputar lebih cepat
lebih cepat, lebih cepat dari waktu orang lain
akan kupacu langkahku lebih cepat, lebih cepat
meski kadang terasa gamang ketika bertemu tanya
apa yang aku inginkan, apa yang kucari

waktu terasa lambat bagiku
hingga pikiranku terasa tlah melebih waktu
dan tubuhku kupacu mengikuti pikiranku
tapi ketika tersadar, aku masih di sini
di waktu yang terasa lambat
dan terasa lelah serta jemu menunggu waktu
Posted by ria permana sari at 8:38 PM 0 comments
kemarau menjelang dan hujan pun tak kunjung datang
mungkin akibat dari pemanasan global yang konon katanya berawal dari ulah manusia
yang abai akan lingkungannya

rumput meranggas
bunganya kering dan tertiup angin
hari ini semi dan kemudian kering
kesia-siaan yang menyedihkan

jika

Posted by ria permana sari at 8:34 PM 0 comments
Jika tiba waktuku nanti
aku ingin tlah memeluk mimpiku

jika jantung ini tlah berhenti berdegup
ku ingin tlah menerima anugerahMu
ketika keresahan tlah menemui jawabnya

jika mata ini menutup selamanya
aku ingin tak ada duka di matamu

Tuesday, August 25, 2009

Posted by ria permana sari at 4:17 AM 0 comments
kupikir aku sudah mendekatimu, berusaha meraihmu dengan tangan mungilku
namun ternyata itu hanya fatamorgana
kau masih jauh di sana

angin menerpa langkahku yang tak lagi sempurna
membuat tubuhku limbung ketika tak ada lagi yang bisa dijadikan pegangan
ilalang tajam mengusik langkahku, menjadi aral dalam perjalananku

aku akan tetap dalam usahaku mencapaimu
meski ratusan ribuan bahkan jutaan kali aku terjatuh
atau meski aku tak akan bisa lagi melangkah

mimpi...
aku akan bisa menggenggammu


batavia, 25 agustus 2009
18:17

Tuesday, June 23, 2009

siapa menabur angin akan menuai badai: sebuah pembalasan akan menyapamu

Posted by ria permana sari at 11:30 AM 0 comments
Requiem Aeternam Deo!

Nietzche yang dengan lantang meneriakkan kematian tuhan, tidak lepas dari pemikiran mengenai kehendak berkuasa. Hidup adalah insting atas proses pertumbuhan, kekekalan dan pertambahan kuasa.

Jika menurutnya manusia dibagi menjadi dua kelas, yaitu budak dan aristokrat. Dan membunuh tuhan adalah suatu hal yang diniscayakan karena tuhan menjadi idealisasi rasa benci, dendam ketidakberdayaan kelas budak dalam menghadapi kelas aristokrat. Tuhan telah menjadi pengharapan kelas budak untuk menjamin terlampiaskannya dendam mereka dengan menghukum yang jahat di akherat.

Inilah pembenaran ilmiah yang bisa kuajukan untuk melegalkan apa yang akan aku lakukan. Mungkin dangkal dan terkesan mengada-ada namun bongkahan di kepalaku yang konon bernama otak hanya bisa menghasilkan pikiran ini…

Thursday, June 18, 2009

pada suatu hari yang biasa

Posted by ria permana sari at 12:26 AM 0 comments
hari ini masih sama dengan hari-hari yang lalu
hari ini masih menjadi ulangan dari hari yang sebelumnya
waktu masih melaju dengan caranya, tanpa mau menunggu atau ditunggu

keresahan ini masih terasa dengan segala hal yang dimplikasikannya
menyeruak dalam 'kemapanan' dan kenyamanan yang kurasakan

berat terasa, ketika langkah kecil ini diterpa angin
ketika lelah terasa dan kusadari betapa perjalanan ini cukup sulit
aku berdiri dalam gamang

Thursday, June 4, 2009

Posted by ria permana sari at 7:46 AM 0 comments
sungguh tidak mudah jika harus melipat asa
menyembunyikan sakit dalam muka yang ceria
atau ketika menyadari ternyata semuanya telah selesai

Tuesday, June 2, 2009

satu satu

Posted by ria permana sari at 5:54 AM 0 comments
satu satu
perlahan kutata hidupku

dua dua
kubangun kembali mimpiku

tiga tiga
kupompa asaku

Monday, May 25, 2009

maaf

Posted by ria permana sari at 8:23 AM 0 comments
aku mungkin belum mampu menjalankan peranku
bahkan menjadi pelindungmu
atau sekedar menjadi orang yang senantiasa mendengarkanmu

aku menyayangimu
dalam jarak yang ada antara kita
dalam sepi yang aku ciptakan

mungkin aku terlalu larut dalam duniaku
bertarung dengan mimpi dan ambisiku
hingga membuatku berada dalam sejuta rasa
jengah, geram, kesal, atau apalah

aku mengingatmu dalam tiap harapku
berharap aku akan selalu ada untukmu di setiap waktu
melindungimu dan memastikan semuanya baik-baik saja...

ah... mungkin kau menertawakanku
karena aku yang terlalu egois dengan diriku
namun percaya
aku menyayangimu

Saturday, May 9, 2009

menggelinding

Posted by ria permana sari at 9:24 AM 0 comments
ketika tersadar seperempat abad tlah berlalu
aku masih di sini dengan rasa dan perasaan yang sama
dan gamang masih saja terasa

hidup terasa menggelinding
berjalan tanpa bisa dihentikan
meski penat begitu terasa
terkadang ingin berhenti sejenak
namun itu hanya mimpi yang tak 'kan sampai
sebab hidup terus menggelinding

dalam putarannya
smoga gamang bisa beralih
smoga tanya akhirnya menemukan jawab
hingga putaran itu kemudian berhenti
saat aku tlah menemukan arti hidupku sebenarnya

Wednesday, April 22, 2009

tak berjudul

Posted by ria permana sari at 10:01 AM 0 comments
Kau bilang jangan meragu
Namun langkahmu justru membuatku menolakmu
Hidup bukan hitung-hitungan matematika yang ditentukan dengan logika
Namun bagaimana juga harus mendengarkan rasa
Logika hati dan logika pikir
Sehingga tidak membuat lari menyingkir
Aah..

Sunday, February 15, 2009

ilalang yang berdusta

Posted by ria permana sari at 6:46 PM 0 comments
Dan tumbuhlah dia menjadi ilalang, katanya
Di sebuah sabana yang hijau
Dan aku adalah bunga rumput
Yang tumbuh bersama dengan bunga lainnya

Karena kau ilalang, kita merajut mimpi bersama
Sebagai bagian yang terlupa dari sabana
Karena kau ilalang, aku percaya kau pahami aku
Bunga rumput yang kadang tertiada
Karena kau ilalang, aku pikir kau berbeda

Namun ilalang berdusta
karena tak ubahnya seperti yang lain
Yang akhirnya menginjak aku, si bunga rumput
Setelah habis indahnya diambil

Saturday, January 10, 2009

sebuah puisi

Posted by ria permana sari at 11:04 AM 0 comments
ribuan cerita kutulis karena tak mampu kuceritakan padamu
bukan karena lidahku yang kemudian kelu atau tenggorokanku tercekat
aku sadar bukan senyum yang kemudian kau hadirkan
namun sedih yang kau pendam

jika waktu bisa mempertemukan kita
ingin rasanya memelukmu
dan andai air mata ini cukup mewakili penyesalanku
dan andai dulu aku tak terjebak dalam rasa itu

aku menyayangimu
namun ternyata aku tak cukup baik untuk itu
ribuan kata maaf rasanya tidak cukup untuk menebusnya
namun aku berjanji
aku akan berusaha tepati janjiku yang telah terbunuh
 

bulir - bulir waktu Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea