Tuesday, November 3, 2009

senja cinta

Posted by ria permana sari at 10:01 AM 0 comments


Senja menyapu langit dengan warna merah tembaga, memberi nuansa berbeda dalam transformasi waktu siang menuju malam. Aku masih saja takjub akan keindahan senja, dan senja ini kembali mengingatkanku padamu. Jika waktu adalah sebuah perputaran ulang, dimana setiap kejadian adalah ulangan dari kejadian sebelumnya, demikian halnya dengan rasa ini, yang selalu terulang dan terulang, entah sampai kapan.
Aku berada di tengah jembatan ini, jembatan tempat kita menikmati senja, melihat sisi kota ini dari sudut yang sedikit berbeda. Jika biasanya kita larut dalam berbagai aktivitas yang ada dalam kota ini, di jembatan ini kita melihat sisi lain, sisi muram kota ini, melihat dari pandangan mereka yang termarginalkan. Terkesan suram mungkin, namun ada perasaan yang berbeda.

Dari sini kota ini terlihat semakin pongah. Dari jembatan ini terlihat dengan jelas rumah-rumah, ah rasanya tidak layak disebut rumah. Bangunan itu dibangun seadanya dengan bahan yang bisa didapat untuk sekedar berlindung dan beristirahat. Terlihat kontras dengan bangunan di seberangnya. Sebuah mall besar dimana transaksi ratusan juta mungkin terjadi setiap harinya. Atau mobil-mobil mewah yang lalu lalang di depannya. Beberapa orang mengais rezeki di jalan itu, entah sebagai penjaja minuman, pengamen, pengemis atau pemilah sampah yang mengumpulkan barang-barang yang orang buat, dan kemudian dijualnya.

Di seberang sana, terlihat ada perahu dengan sling. Perahu sling itu… Masihkah kamu mengingatnya ? Ketika kita berdua berada dalam perahu itu. Tukang perahu itu memberi jasa dengan menghubungkan sisi kanan dan kiri dari sungai ini. Di tengah modernitas, saat orang-orang memikirkan alat transportasi yang canggih-canggih, mereka masih bertahan dengan perahunya. Aku masih ingat, begitu penasarannya aku untuk ikut menarik di tali yang terhubung pada sling untuk menjalankan perahu itu, merasakan bagaimana rasanya menjadi tukang perahu itu.
“Nanti tangannya lecet,” demikian kata Bapak itu memperingatiku.

Namun seperti yang selalu kau bilang, rasa penasaranku tidak bisa dibendung, dan aku tidak suka diperingatkan. Dan kau hanya diam saja mengamatiku.
Aku hanya tahan beberapa menit saja (atau mungkin dalam hitungan ratusan detik) karena tanganku terasa perih. Saat itu kau menarik tanganku dan mengusapnya. Sorot matamu seakan berkata, apakah rasa ingin tahumu telah terpuaskan.. ah, aku tak mempedulikannya, karena aku justru hanyut pada suasana itu, merasakan romantisme di senja ini di atas perahu di sungai yang airnya tak lagi jernih.

Kemudian sampailah kita di seberangnya, dan membayar beberapa ribu untuk penyebarangan tersebut. Kita kembali melewati rumah-rumah itu, kali ini rumah-rumah ini dibangun di dekat rel kereta api. Tampak anak-anak bermain di tengah-tengah rel yang tak dilintasi. Kamu mengejekku ketika itu.
“ ini sama ya dengan kost kamu, dekat rel kereta api. Hanya saja nuansanya berbeda.”
Aku hanya bisa tersenyum, dan menjadi teringat pertanyaanmu dulu, apakah aku sering terbangun ketika kereta api lewat.

Ya, seperti katamu, di sini nuansanya berbeda, lebih berantakan, lebih memprihatinkan dan entahlah rasanya tinggal di sana. Rumah-rumah itu dibangun berjajar-jajar tanpa ada celah, suara musik dangdut terdengar dengan jelas, mengingatkan aku pada suasana sebuah kota yang dulu acapkali aku kunjungi, sebuah daerah di kawasan Pantai Utara. Benar saja, beberapa percakapan yang aku dengar memiliki dialek yang sama dengan daerah tersebut.

Dalam perjalanan itu, seorang anak kecil terlihat sedang menangis. Aku dan kamu mendekatinya dan berusaha menghiburnya. Aku menggendong anak itu, dan ajaib dia menghentikan tangisnya. Beberapa saat kemudian ibunya datang, segera saja dia minta diturunkan lalu menghampiri ibunya. Sedih rasanya melihat anak tersebut, dalam senja yang hampir hilang ditelan malam, dia masih saja dengan pakaian kumalnya. Jika kubandingkan saat aku kecil dulu, orangtuaku tak pernah mengizinkan aku berada di luar rumah saat senjakala dan memandikan aku sebelum masa itu tiba.
Malam mulai menjelang, langit menjadi gelap namun terang lampu menggantikan cahaya matahari yang hilang. Dan kita masih menyusuri jalan itu, sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang.

***
Dalam sebuah senja yang lain, aku dan kamu menikmati berada di jembatan itu kembali. Ah, kamu memang selalu terkenang dengan jembatan. Menceritakan kembali pengalamanmu membangun jembatan di sebuah desa yang berada jauh di pedalaman, yang rasanya tak banyak orang yang tahu. Entah sudah berapa puluh kali aku mendengar ceritamu, namun karena melihatmu yang begitu bersemangat dan terlihat bangga (atau jumawa?) aku selalu mendengarnya, tanpa memotongnya.

“jembatan ini mungkin 4 kali lipat lebih bagus daripada jembatan yang kita dirikan. Namun aku masih ingat betapa penduduk merasa senang dengan jembatan itu. Jembatan itu kita bangun bersama, bukan pemberian dan efeknya ada rasa sense of belonging’’
Dalam sebuah konsep bernama pemberdayaan yang merupakan antitesa dari konsep pembangunan yang bersifat top down, pelibatan masyarakat penting. Adanya rasa sense of belonging akan menjaga keberlangsungan kebermanfaatan jembatan itu. Ah.. menjadi teringat masa-masa kita berdialektika.

Kamu selalu berjanji mengajakku ke tempat itu suatu hari nanti. Melihat jembatan itu, menyapa penduduknya dan melihat bagaimana perkembangan zaman menggerus kearifan penduduk di sana. Janji yang entah kapan akan kau tepati… aku tak berani menagihnya, tidak sekarang ataupun nanti.

Jembatan ini menimbulkan efek yang lain untukmu dan juga untukku, entah mengapa. Aku atau kamu acapkali termenung di atas jembatan itu dengan membawa pikirannya masing-masing. Kadang aku bertanya, apakah kamu masih terkenang dengan jembatanmu dulu? Sementara pikiranku melayang pada masa yang sudah-sudah dan juga kenangan bersamamu. Masih ingatkah kamu, kala kita menikmati senja di jembatan ini.. kamu tiba-tiba menciumku, ciuman pertama kita. Kamu tertawa lebar melihatku terkejut akan perbuatanmu itu. Bagaimana tidak, ciuman itu menyadarkan aku dari lamunanku.. Kamu memang selalu tak terduga.

Tak terasa malam mengusir keindahan senja. Kala itu, pemandangan berubah dan terasa berbeda. Dari jembatan ini, pekat malam begitu terasa dan pemandangan di seberang sana seperti dunia yang berbeda. Gemerlap lampu penerangan, kendaraan yang berlalu lalang… ah sungguh kontras dengan di sini yang begitu sepi dan muram, padahal hanya terpisah jarak 500 meter.

***
Hari hampir senja ketika kita menyusuri kota ini, dan tepat ketika senja datang kita tiba di tempat itu, tempat dimana kelak kita berproses bersama dengan penduduk di sana. Sebuah proses yang entah dimana muaranya.

***
Senja… kali ini senja tak lagi bisa kunikmati denganmu. Demikian halnya dengan senja yang selanjutnya selalu akan datang. Aku, kamu berada dalam lintasan hidup kita masing-masing dengan membawa semua rasa yang kita punya.

Senja tak lagi membawa kita pada sisi lain kehidupan. Senja kita adalah perubahan. Senja kita adalah awal langkah kecil kita. Senja adalah cinta kita.
 

bulir - bulir waktu Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea